Dimulai pada abad ke-18, Revolusi Industri Pertama ditandai oleh mekanisasi produksi melalui tenaga uap dan lahirnya kelas proletariat. Revolusi Industri kedua kemudian bergulir pada akhir abad 19 dengan adanya otomisasi produksi massal. Teknologi pun semakin maju dan memunculkan Revolusi Industri ketiga pada 1950-an yang ditandai dengan perkembangan sistem digital dan teknologi informasi.
Revolusi Industri Keempat pertama kali dicetuskan oleh Profesor Klaus Schwab, seorang ekonom Jerman yang juga pendiri World Economic Forum (WEF). Menurutnya, Revolusi Industri 4.0 secara fundamental berbeda dengan revolusi industri edisi sebelumnya. Revolusi Industri Keempat membuat batas antara dunia digital, fisik, dan biologis semakin tipis, bahkan hilang. Kecerdasan buatan, teknologi robot, big data dan internet of things membuat semua elemen dalam kehidupan manusia terhubung dengan mudah. Beberapa pendapat bahkan sampai jauh berdebat mengenai arti keberadaan manusia di dunia ini yang semakin gampang tergantikan oleh teknologi.
Profesor Klaus lebih lanjut mengatakan Revolusi Industri 4.0 dapat berdampak buruk bagi pemerintah yang gagap dan tidak bisa memanfaatkan perkembangan teknologi yang cepat. Kemajuan teknologi memungkinkan tumbuhnya ancaman-ancaman keamanan yang melampaui batas-batas tradisional suatu negara. Adaptasi yang rendah juga akan memperdalam kesenjangan ekonomi antar masyarakat. Ke depan, negara yang dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dengan baik akan bisa menjadi kekuatan global. Namun sebaliknya, mereka yang tidak siap dan sibuk sendiri dengan urusan domestik takkan mampu bersaing.
Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat 4 (empat) langkah strategis yang telah diidentifikasi oleh Menteri Perindustrian RI untuk siap menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Pertama, dari sisi sumber daya manusia (SDM), angkatan kerja Indonesia perlu meningkatkan keterampilannya dalam memahami penggunaan internet of things. Untuk itu, pendidikan vokasi perlu diarahkan supaya dapat link and match dengan kebutuhan industri di masa depan. Hal ini juga dibutuhkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil yang siap pakai di sektor industri dengan target mencapai satu juta orang pada 2019.
Kedua, pengembangan program e-smart industri kecil dan menengah (IKM). Melalui program tersebut, diharapkan penguasaan pemanfaatan teknologi digital dapat memacu produktivitas dan daya saing industri nasional.
Ketiga, pemerintah juga meminta industri nasional dapat menggalakkan penggunaan teknologi digital (Big Data, Autonomous Robots, Cybersecurity, Cloud dan Augmented Reality) yang pada akhirnya dapat menaikkan efisiensi dan mengurangi biaya sekitar 12-15%.
Keempat, fasilitasi pembangunan tempat inkubasi bisnis yang dapat mendorong pengembangan startup di tingkat nasional. Upaya Pemerintah ini terlihat melalui pembangunan beberapa technoparks seperti di Bandung (Bandung Techno Park), Denpasar (TohpaTI Center), Semarang (Incubator Business Center Semarang), Makassar (Makassar Techno Park) dan Batam (Pusat Desain Ponsel). Tidak hanya pemerintah, institusi pendidikan maupun kalangan swasta juga telah turut membangun fasilitas technoparks di beberapa wilayah Indonesia.
Selain itu, Presiden RI Joko Widodo juga telah secara resmi meluncurkan peta jalan “Making Indonesia 4.0. Peta jalan tersebut digagas oleh Kementerian Perindustrian yang pada intinya ditujukan untuk mengupayakan revitalisasi industri nasional secara komprehensif. Tidak lupa diharapkan peta jalan ini dapat memastikan pertumbuhan secara inklusif yang melibatkan seluruh lapisan ekonomi masyarakat, tidak hanya perusahaan besar melainkan juga usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Dengan adanya uraian diatas, maka kami sebagai mahasiswa Prodi Magister Akuntansi UMS akan mengadakan kuliah umum yang bertemakan “Penataan Laporan Keuangan untuk UMKM dalam Menghadapai Revolusi Industri 4.0”. Pada tanggal 1 November 2018 jam 08.00 s.d 12.00 di ruang seminar gedung Pascasarjana UMS, dengan narasumber Prof. Rahmawati (Guru Besar UNS), Dr. Djuminah (Pembina IAI) dan drs. Budi Mustopo (Kementerian Koperasi).